******CINTA*****
“Ris, Lo mau jadi cowok gue nggak?” tanya Dana temanku satu jurusan yang kebetulan duduk di sebelahku ketika mata kuliah ANASIS sore ini.
Aku terkejut bukan kepalang. Jantungku serasa berhenti berdetak ketika teman dekatku itu menyatakan cintanya. Mulutku juga tak bisa bergerak.
”Ris, kamu kenapa?” tanyanya lagi.
”A..A...aku,” aku tak sanggup meneruskannya.
Aku kembali terdiam. Hingga kuliah selesai, tak sekalipun aku menoleh padanya. Pikiranku berkecamuk. Aku akui, Dana memang cantik, manis pula. Dan tadi sore ketika ia curhat padaku tentang permasalahannya dengan pacarnya pun aku setia mendengar. Sesekali aku bercanda sembari mengejeknya.
”Makanya, cari cowok itu yang pasti – pasti aja deh. Jangan di pasar loak. Ha..ha..ha..,” candaku.
Dana menepuk bahuku.
”Sialan lo.”
Tapi kemudian dia diam. Dan meluncurlah kata – kata itu.
”Ris, lo mau jadi cowok gue nggak?”
Ya Allah, apa salahku sampai harus menerima ujian ini.
Orang – orang bisa memandangku sebagai seorang munafik. Dibalik rajinnya aku mengikuti pengajian – pengajian, dibalik aktifnya aku sebagai organisatoris sebuah Komunitas Mahasiswa Muslim, dan dibalik segala aktifitasku sebagai ketua Rohis dan ketua remaja masjid Al-Qudwah, aku juga senang bergaul pada siapa saja. Tak pandang bulu dan rambut. Yang penting enak dan asyik di ajak berteman, entah itu laki – laki ataupun perempuan.
Aku tau batasan bergaul dengan lawan jenis, dan aku hingga sekarang belum pernah ”dengan sengaja” menyentuh kulit yang bukan muhrim.
Tapi, kenapa ini terjadi.
Kenapa tiba – tiba Dana mengucapkan kata – kata itu, kata – kata yang belum pernah aku ucapkan pada seluruh wanita di dunia, karena aku menunggu saat – saat terindah itu. Saat dimana benang kasih sudah terjalin lewat sebuah ikatan pernikahan.
”Udah Ris. Terima aja. Apa sih kurangnya Dana,” saran Denta, sobatku di Senat Mahasiswa ketika kuceritakan hal tersebut.
”Ah, kamu nggak tahu masalahnya,” aku menghindar.
Lain kepala, lain juga pendapatnya. Ketika aku ceritakan masalahku pada sobat terbaikku, Steve, muallaf yang selalu tawadhu, dia menasehatiku habis – habisan. Menanyakan komitmenku pada dakwah, dll. Walaupun, semua yang ia katakan benar, tapi aku belum menemukan jawaban itu. Kenapa harus aku?
”Ris, antum harus jaga diri. Buat apa antum aktif, rajin, dan segalanya antum bisa. Tapi akhlaq yang jelas – jelas merupakan hal yang utama antum belum bisa mencontoh tauladan kita. Ris, ane pengen antum berubah,” sambung Steve kemudian ketika aku berjalan murung meninggalkannya di perpustakaan.
Esoknya, lusanya, hingga dua atau empat hari berikutnya aku belum berani bertemu langsung dengan Dana. Hingga kemudian kutemukan sepucuk suratnya di depan kosku.
Aris, teman gue.
Maafin gue.
Gue tahu lo marah besar ke gue.
Gue tau lo benci ke gue.
Gue tau, gue nggak pantas jadi cewek lo
Gue nggak pantas lo sayangi.
Gue…
Gue hanya seorang wanita yang benar – benar belum memahami apa itu cinta.
Cinta yang membuat gue lupa segalanya.
Lupa bahwa ada yang harus lebih gue cintai dari pada lo, Randy, ataupun cowok – cowok laen.
Gue bingung juga saat lo diam.
Saat Lo ngejauh dari gue
Hingga akhirnya gue cari sebab kenapa lo diem dan negjauh dari gue itu.
Aris, sobat gue.
Thanx banget. Gue akhirnya ngerti setelah mencari tahu.
Mencari tahu ke tempat yang benar – benar bisa ngebimbing gue.
Terima kasih sobat.
Ternyata Allah lebih pantas kita Cintai ketimbang makhlukNya ya.
Karena Allah sang Maha Cinta
Moga Dia mempertemukan elo dengan Bidadari yang sesungguhnya...
Bidadari pendamping setia di dunia dan akhirat..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar